Informasi

  • Jurusan Seni Rupa dan Desain

Dosen dan Mahasiswa Seni Rupa FT-UNG Unjuk Karya Pada Pameran 'Maa Ledungga'

  • 14 Mei 2025
  • 161 Views
  • By Admin
image

Pesta Seni Panen Padi “Maa Ledungga” adalah hajatan pameran seni rupa terbesar di Gorontalo yang diselenggarakan oleh Kelompok Perupa Gorontalo (Tupalo) di bawah naungan Studio Huntu Art Distrik (Hartdisk). Pameran ini digelar tiap tiga tahun sekali (trienal) dengan tema berbeda-beda. Tahun 2025 ini, “Maa Ledungga” telah memasuki tahun ke-4, yang mengangkat tema “Suaka” untuk memayungi ragam karya seni rupa yang dihadirkan. Konsep “Suaka” dalam pengertian paling umum berarti “perlindungan”, terhadap berbagai entitas yang terancam atau tidak aman. Para perupa memaknai tema tersebut dengan beragam tafsir kemudian mengartikulasikan dalam bentuk karya seni.

Pameran “Maa Ledungga” 2025, berlangsung hampir dua pekan mulai 29 April hingga 11 Mei, yang menghadirkan karya-karya perupa lintas daerah: Gorontalo, Makassar, Bali, Lombok, Yogyakarta. Perupa dari kalangan perguruan tinggi  dosen dan mahasiswa Jurusan Seni Rupa dan Desain Fakultas Teknik Universitas Negeri Gorontalo, yakni Drs. Suleman Dangkua, M.Hum., Akbar Abdullah, M.Sn., Stenly Dani Mokoginta, dan mahasiswa angkatan 2021 yang tergabung dengan kelompok “Niskala”.  Mereka tampil dengan karya-karya terbaru setelah lolos seleksi dari tim kurator “Maa Ledungga”.

Suleman Dangkua tampil dengan karya bertajuk “Panggoba”, yang merujuk pada keahlian seseorang dalam membaca tanda-tanda alam dan ilmu perbintangan yang berguna dalam menentukan waktu ideal dalam bercocok tanam. “Panggoba” merupakan pengetahuan lokal (local genius) Gorontalo yang menjadi referensi dalam mengelola alam secara bijaksana, namun kini kerap diabaikan. Representasi konsep tersebut divisualisasikan dengan menampilkan sosok Panggola memegang tasbih dan sarana ritual sebagai subjek utama, serta objek pendukung berupa padi, jagung, pisang, dan umbi-umbian, yang menggambarkan kelimpahan hasil alam jika dikelola dengan bijak. Warna-warna cerah disajikan secara original tanpa banyak pengolahan, agar karyanya lebih komunikatif.

Lewat karya tersebut, Pak Suleman seolah hendak menggugah kesadaran kita untuk memanfaatkan dan mengelola alam secara bijak sesuai garis pengetahuan dan kearifan lokal yang kontekstual, tanpa buru-buru mengadopsi sistem pertanian modern yang muaranya cenderung merusak. Begitulah ia menafsirkan dan mengartikulasikan tema “Suaka’ dalam karyanya.

Berbeda dengan Suleman Dangkua, Akbar Abdulah yang merupakan jebolan Pascasarjana ISI Yogyakarta, menawarkan karya semi grafis Shadow Print (cetak bayangan) bertajuk “Bayang-in”. Karya ini merupakan karya interaktif dengan eksplorasi cetak bayang yang memanfaatkan bantuan cahaya flash/blitz handphone sebagai media tambahan untuk menghasilkan cetakan objek. Bayangan objek yang muncul ketika terkena cahaya berupa tanaman padi dan dialog dua tikus dengan tampilan berbeda. Tikus pertama tampil mengenakan jas dan dasi, sedangkan tikus kedua tampil apa adanya. Dapat dipastikan ketiga objek tersebut merupakan ikon simbolik, yang mengarahkan publik dalam menafsirkan pesan yang hendak di sampaikan. Padi sebagai simbol hasil pertanian kerap dieksploitasi oleh oknum tertentu yang terlihat profesional dan gaya eksploitasi itu terus diwariskan pada oknum berikutnya, sehingga petani terus mengalami kerugian. Dalam kondisi yang demikian itulah petani perlu “Suaka’ (perlindungan).

Sementara itu, Stenly Dani Mokoginta mahasiswa Pendidikan Seni Rupa (PSR) yang dikenal aktif dalam berbagai kegiatan lomba dan pameran seni rupa, hadir dengan karya seni lukis berjudul “Babi Liar”. Karya tersebut menampilkan seorang petani yang sedang mengintimidasi seekor babi rusa, dikelilingi perkebunan jagung dan singkong dengan latar pegunungan dan langit kebiruan

Babi Liar, 2025, Acrylic on canvas 100 x 100 cm

Komposisi warna bervariasi ditampilkan secara natural dengan sapuan kuas yang energik, sehingga terlihat dinamis. Narasi visual yang muncul pada karya tersebut menggambarkan sosok manusia sebagai makhluk superior sedang mengancam satwa (babi rusa) yang kerap dicitrakan sebagai perusak, dalam perebutan sumber daya alam untuk kelangsungan hidupnya yang makin sempit. Stenly mendapati data dari jurnal ilmiah, bahwa hampir 20,93% habitat Babi Rusa berubah menjadi lahan pertanian dan 2,92% menjadi lahan perkebunan yang dikelola oleh perusahaan dan masyarakat (Zainuri, et al., 2024). Pengalihan fungsi lahan untuk tujuan komersial itu mengakibatkan habitat Babi Rusa makin terhimpit dan merusak ekosistem. Hal inilah yang memerlukan “Suaka” (perlindungan) untuk melestarikan harmoni kehidupan.

Mahasiswa PSR angkatan 2021 yang tergabung dalam kelompok “Niskala” menyajikan karya kolektif bertajuk “Bayang Rasa Rumah”, yang menampilkan komposisi perangkat makanan di atas meja dengan respons estetik minimalis yang unik. Karya tersebut berangkat dari ide terkait hiruk-pikuk tren kuliner modern yang dipicu media sosial, memobilisasi banyak orang tergiur mencari pengalaman rasa baru yang tiada henti. Namun, pengalaman itu pada akhirnya tetap akan bermuara pada kerinduan lidah pada rasa masakan rumahan yang dibuat penuh rasa cinta dan dinikmati bersama keluarga. Karya tersebut hendak mengingatkan kita, bahwa dalam pencarian rasa yang tiada henti, kerinduan sejati bukan hanya pada makanan, melainkan pada “rumah” sebagai “Suaka” dimana tempat kita tumbuh dan merasa terlindungi dengan kedamaian.

Keterlibatan dosen dan mahasiswa Prodi PSR baik dengan menampilkan karya maupun kegiatan terkait lainnya dalam hajatan “Maa Ledungga”, menunjukkan adanya hubungan solid antara dunia seni akademis dengan dinamika kehidupan seni di masyarakat. Sinergi ini penting dalam pengembangan dunia seni rupa, khususnya di Gorontalo. Kompleksitas kegiatan dalam “Maa Ledungga” yang menghubungkan pertanian, ekologi, pariwisata, dan seni guna meningkatkan budaya dan ekonomi pedesaan dengan melibatkan berbagai sumber daya, merupakan representasi dari rural arts. Oleh karena itu, moment “Maa Ledungga” sangat penting bagi Prodi PSR yang sedang mengembangkan rural arts sebagai penciri (difference value) dari Prodi Pendidikan Seni Rupa (PSR) FT-UNG.   

Penulis: I Wayan Sudana (Dosen Jurusan Seni Rupa dan Desain FT-UNG)